JAKARTA – Sidang lanjutan dengan terdakwa Edi Gunawan kembali digelar, di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat dengan agenda tanggapan terhadap eksepsi yang dibacakan oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) dari Kejaksaan Tinggi (Kejati) DKI Jakarta Putri Manurung pada Selasa (27/2/2024).

Nah, usai Jaksa Putri membacakan kesimpulan eksepsinya di persidangan, penasehat hukum terdakwa, dibawah komando Hasanuddin Nasution meminta agàr status penahanan kliennya tersebut ditangguhkan karena terdakwa menderita sakit TBC dan jantung.

“Saya sakit, saya sedang sakit pak Hakim,” ujar terdawa Edi Gunawan singkat di persidangan. Dan selanjutnya para penasehat hukumnya mengajukan surat kepada majelis hakim yang juga disaksikan oleh Jaksa Putri.

Usai sidang, Hasanuddin Nasution menyatakan bahwa perkara tersebut bukan perkara pidana, tapi perdata. Karena menurutnya ada kerja sama dan perjanjian bisnis.

“Perkara ini adalah kwalifikasi hukum bukan pidana, tapi perdata, karena terdakwa dengan pelapor ada kerja sama bisnis, dan itu dituangkan dalam perjanjian. Artinya, apabila ada perselisihan diantara mereka seyogyanya itu diselesaikan secara perdata juga, bukan pidana,” ujarnya kepada wartawan di PN Jakarta Pusat.

Ketika disinggung terkait perdebatan dalam persidangan tersebut, menurut Nasution dirinya merasa kesal, karena dalam persidangan sebelumnya, pihaknya telah meminta kepada majelis hakim agar kliennya ditangguhkan.

“Saat persidangan sebelumnya, saya meminta kepada majelis hakim agar terdakwa Edi Gunawan ditangguhkan penahanannya, karena dia dalam keadaan sakit. Sakitnya sudah terlebih dahulu dibuktikan oleh dokter di rumah tahanan, yang menyatakan terdakwa ini sakit TBC dan menurutnya dia juga ada penyakit jantung,” tegasnya.

Sidang Tanggapan Eksepsi, Penasehat Hukum Terdakwa Edi Gunawan Minta Penangguhan Tahanan

Eksepsi

Sementara itu, dalam persidangan sebelumnya dengan agenda eksepsi, advokat senior Hasanuddin Nasution ini menjelaskan beberapa alasan terkait keberatannya. Misalnya keberatan atas penerapan pasal, seperti dalam surat dakwaan JPU tertulis tanggal 28 Nopember 2023, padahal penyerahan tersangka pada Kejaksaan Negeri (Kejari) Jakarta Pusat pada hari itu juga tanggal 28 Nopember 2023.

“Artinya secara hukum JPU melakukan kesalahan dan kekeliruan yang sangat fatal sehingga menimbulkan kerugian terhadap terdakwa. Oleh karena itu kami menolak surat dakwaan JPU,” ungkapnya.

Selain itu, kata Nasution, dalam surat dakwaan JPU terdapat perubahan-perubahan pasal yang didakwakan kepada terdakwa yakni pasal 378 Jo. Pasal 64 ayat (1) KUHP atau pasal 372 Jo. Pasal 64 ayat (1) KUHP dan pasal 3 Jo. Pasal 2 ayat (1) hurup q atau hurup r UU RI No. 8 tahun 2010 tentang TPPU.

Sedangkan dalam Berita Acara Pemeriksaan (BAP) terdakwa dikenai pasal 378 dan atau pasal 372 KUHP dan atau pasal 3 dan atau pasal 4 atau pasal pasal 2 ayat (1) hurup t atau hurup z UU RI No. 8 tahun 2010 tentang TPPU.

Dengan demikian lanjutnya, antara BAP dan surat dakwaan JPU atas pasal yang diterapkan berbeda dan tidak konsisten. Padahal surat dakwaan JPU seharusnya dibuat berdasarkan BAP. Namun tidak demikian yang dilakukan JPU kepada terdakwa, yaitu dalam penerapan pasal yang berbeda.

“Hal ini mencerminkan ketidakcermatan dan kehati-hatian JPU menyusun surat dakwaan. Sehingga, mengakibatkan surat dakwaan tidak jelas atau kabur (obscuur libel), oleh karena itu harus ditolak,” jelasnya.

Legal Standing

Nasution juga menerangkan, soal legal standing pelapor dalam perkara ini, adalah Yosep Jimmy Pribadi sebagaimana laporan polisi nomor: LP/B/2394/V/2023/Polda Metro Jaya, tanggal 5 Mei 2023.

Menurutnya, berdasarkan pengakuan terdakwa Edi Gunawan bahwa terdakwa tidak mempunyai hubungan hukum dengan pelapor. Tetapi hanya memiliki hubungan hukum dengan Darmin, karena mendirikan perseroan PT Top Mas Indonesia. Dimana Darmin menunjuk Buyung sebagai pemegang saham.

“Uang yang dipergunakan terdakwa Edi Gunawan adalah uang milik PT Top Mas Indonesia sebagai Direktur untuk kepentingan perusahaan. Sehingga jika ada kerugian yang timbul, maka harus terlebih dahulu dilakukan pemeriksaan keuangan atau audit oleh akuntan publik independen,” jelasnya.

Pelapor dalam perkara ini tidak mengalami kerugian apapun. Karena pelapor tidak mengalami kerugian, Maka menurut hukum pelapor Yosep Jimmy Pribadi tidak memiliki legal standing sebagai pelopor dalam perkara ini.

“Sehingga laporan polisi ini harus dianggap tidak sah dan batal demi hukum oleh karenanya terdakwa harus dibebaskan,” imbuhnya.

Kerugian

Lebih jauh lagi Nasution mejelaskan, berdasarkan laporan polisi tanggal 5 Mei 2023 kerugian pelapor Rp.850 juta. Dimana kerugian tersebut merupakan biaya yang dipergunakan untuk kepentingan perusahaan, yaitu biaya membuat Nomor Objek Pajak (NOP), namun biaya tersebut telah disetujui oleh Darmin dan bukan merupakan kerugian perusahaan.

Dalam surat dakwaan JPU kerugian yang dialami Yosep Jimmy pribadi pelaku pelapor adalah Rp23. 371. 250. 000. Sedangkan dalam berita acara pemeriksaan yang dibuat pada hari Rabu 5 Juli 2023 kerugian pelapor 3 miliar.

“Berdasarkan hal itu, terdapat perbedaan yang signifikan mengenai total kerugian antara laporan polisi, berita acara pemeriksaan, dan surat dakwaan. Dalam hal ini mencerminkan ketidaktelitian jaksa penuntut umum dalam membuat dan menyusun surat dakwaan. Sehingga dakwaan jaksa penuntut umum menjadi tidak jelas, kabur (obscuur libel) dan harus ditolak,” ungkapnya.

Kualifikasi hukum

Bahwa terdakwa bekerja sama dengan Darmin dalam pengurusan pembiayaan tanah milik terdakwa yang terletak di Jakarta dan Balikpapan. Di mana nilai tanah terdakwa yang kerjasama itu senilai Rp.678 miliar.

Ironisnya, lanjut Hasanuddin mengatakan kerugian yang disampaikan pelapor Yosep Jimny Pribadi dalam laporan polisi dan berita acara pemeriksaan maupun jaksa penuntut umum dalam surat dakwannya adalah berbanding terbalik dengan besarnya kerugian yang dialami terdakwa.

“Kerugian terdakwa jauh lebih besar nilainya atau jaminannya daripada kerugian yang dialami pelapor. Sebab dokumen asli tanah tersebut diminta atau diambil pelapor Yosep Jimny Pribadi dan sekarang dikuasai oleh Darmin,” katanya.

Bahwa hubungan hukum antara terdakwa dengan Darmin adalah hubungan yang bersifat keperdataan. Hal ini berdasarkan surat perjanjian pembiayaan dan bagi hasil yang dibuat pada bulan Februari 2020. Sehingga Jika ada perselisihan antara terdakwa dengan Darmin berkaitan dengan perjanjian tersebut, maka penyelesaiannya harus acara hukum perdata.

“Dengan demikian surat dakwaan jaksa penuntut umum tersebut dianggap keliru, tidak cermat dan harus dibatalkan. Oleh karena itu terdakwa harus dibebaskan karena tidak memenuhi syarat formil dan materiil.” pungkasnya. (Amri)