SURABAYA – Ketua Majelis Hakim Saifudin Zuhri membebaskan terdakwa
Notaris Dadang Koesboediwitjaksono, di Pengadilan Negeri (PN) Surabaya, Selasa (27/3/2025) atas dugaan kasus pemalsuan akta otentik dan tentang memasukkan keterangan palsu ke dalam akta otentik.
Putusan bebas tersebut dijatuhkan oleh Ketua Majelis Hakim Saifudin Zuhri, bahwa terdakwa dianggap tidak terbukti bersalah melakukan dalam Pasal 264 ayat (1) KUHP tentang pemalsuan akta otentik dan Pasal 266 ayat (1) KUHP tentang memasukkan keterangan palsu ke dalam akta otentik.
“Menyatakan Terdakwa R. Dadang Koesboediwitjaksono, S.H. tersebut diatas, terbukti melakukan perbuatan kesalahan adminitrasi dan bukan merupakan tindak pidana. Melepaskan Terdakwa oleh karena itu dari segala tuntutan hukum. Memerintahkan agar Terdakwa dibebaskan dari tahanan segera setelah putusan ini diucapkan.
Memulihkan hak-hak Terdakwa dalam kemampuan, kedudukan dan harkat serta martabatnya,” ujar hakim Saifuddin, di ruang Cakra PN Surabaya.

Putusan hakim tersebut sangat jauh dari tuntut Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejari Surabaya Deddy Arisandi, yang pada sebelumnya menuntut hukuman penjara selama 3 tahun.
Menanggapi putusan hakim, JPU menyatakan melakukan upaya hukum kasasi.
Sementara, Kuasa Hukum terdakwa Dadang yaitu Budiyanto S.H menilai bahwa putusan hakim sangat tepat bagi kliennya. “Bahwa Majelis Hakim memutus perkara Klien Kami sebagaimana Fakta dan Bukti – Bukti diajukan dalam Persidangan. Majelis Hakim memutus perkara ini sudah sangat benar dan tepat sebagaimana UU yang berlaku, dan Demi Keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa,” ujarnya.

Budiyanto juga menilai bahwa Majelis Hakim menjatuhkan putusan dalam pertimbangannya, juga menyatakan bahwa berdasarkan Undang-Undang Jabatan Notaris (UU No. 30 Tahun 2004 jo. UU No. 2 Tahun 2014). “Seorang notaris memiliki kewajiban administratif dalam pembuatan akta autentik. Majelis menilai hanya kesalahan administratif. Jadi, kesimpulannya jika akta tersebut cacat/ada kesalahan maka akta tersebut hanya memiliki kekuatan pembuktian seperti akta di bawah tangan,” ungkapnya.
“Selain itu juga tidak ada niat jahat (mens rea) dari Terdakwa terhadap siapapun atau apapun dengan membuat Akta Notaris no. 34 tanggal 21 Maret 2011 dan Akta Notaris no. 63 tanggal 25 Oktober 2011, namun hanya mengikuti prosedural terkait proses kelengkapan dokumen dengan pihak Kemenkumham yang membutuhkan waktu lama sejak didaftarkannya Akta Notaris no. 157 tanggal 13 Agustus 2008,” pungkas Budi.
Untuk diketahui, didalam surat dakwaan dijelaskan, notaris Dadang Koesboediwitjaksono didakwa memalsukan akta otentik dalam perubahan nama dan kepemilikan Yayasan Pendidikan Dorowati (YPD) menjadi Yayasan Pendidikan Dorowati Surabaya (YPDS).
Kasus ini berawal ketika Tuhfatul Mursalah, anggota pembina YPD, menemukan kejanggalan dalam perubahan akta yayasan yang dibuat oleh notaris Dadang pada 2011 silam. Dalam akta tersebut, dua nama tokoh yayasan, H. Abdullah Sattar Madjid dan H. Abdullah Faqih Madjid, dicantumkan sebagai penghadap, meskipun keduanya telah meninggal dunia sejak 2010. Selain itu, beberapa nama lain juga disebut sebagai penghadap tanpa pernah hadir atau menandatangani dokumen.
Akta yang dibuat notaris Dadang digunakan untuk mengurus pengesahan yayasan ke Kementerian Hukum dan HAM serta izin operasional SMP Dorowati Surabaya. Akibatnya, hak pengelolaan tanah dan bangunan yayasan di Jalan Manukan Lor, Surabaya, beralih kepada pengurus baru, sehingga ahli waris merasa dirugikan.
Jaksa mendakwa notaris Dadang dengan Pasal 264 ayat (1) KUHP tentang pemalsuan akta otentik dan Pasal 266 ayat (1) KUHP tentang memasukkan keterangan palsu ke dalam akta otentik. Kini kasus tersebut tengah bergulir di Pengadilan Negeri Surabaya yang mendudukan notaris Dadang sebagai terdakwa.
Kendati telah berstatus terdakwa, Notaris sekaligus PPAT yang berkantor di Jalan Sidotopo Wetan No. 3, Surabaya ini tidak ditahan dan berstatus sebagai tahanan kota.(Am)