Bandung, – Sidang dugaan pemalsuan surat ahli waris dalam perjanjian jual beli tanah dengan terdakwa seorang tokoh media asal Bandung Arifin Gandawijaya, kembali digelar di Pengadilan Negeri (PN) Bandung.
Sidang dengan agenda pemeriksaan terdakwa berlangsung di ruang IV pada 10 November 2025.
Ketua Majelis Hakim Dodong Iman Rusdani mencecar terdakwa dengan berbagai pertanyaan mengenai keterlibatannya dalam kasus tersebut.
Arifin mengaku awalnya tidak tahu dirinya terlibat dalam masalah ini, namun setelah diperiksa oleh penyidik, pihaknya baru mengetahui.
“Awalnya saya tidak tahu namun setelah diperiksa penyidik baru tahu, hingga saya berada dan duduk di kursi ini,” ujar Arifin.
Hakim menanyakan apakah dirinya pernah membuka dan meneliti berkas yang diberikan oleh Tomson selaku kuasa hukumnya saat itu, terdakwa menyatakan percaya dengan kuasa hukum sehingga tidak memeriksanya kembali.
“Betul saya menerima itu, namun tidak memeriksa dan membuka bundel tersebut. Karena saya sudah percaya penuh terhadap lawyer saya,” ucap Arifin.
Terdakwa sepenuhnya menyerahkan proses hukum kepada kuasa hukumnya tanpa mengetahui detail isi dokumen yang kini menjadi dasar dakwaan.
Menurut kuasa hukum terdakwa, Bobi Herlambang sejak awal tidak ada kejanggalan dalam dokumen tersebut karena surat ahli waris itu berasal langsung dari notaris dan diserahkan kepada lawyer, lalu diberikan kepada terdakwa.
“Pihak notaris sendiri sudah mengaku tanda terimanya hilang. Jadi mau ngomong apa lagi?” kata Bobi.
Menurut Bobi, posisi terdakwa justru dirugikan karena proses administratif dari pihak notaris tidak jelas.
“Sekarang tanahnya sudah dijual ke orang lain, ahli warisnya sudah menerima uang Rp6,5 miliar, bahkan sebelumnya almarhum sudah menerima Rp1,5 miliar. Tapi masih juga bikin laporan polisi,” tambahnya.
Laporan itu dianggap janggal terkesan mengada ngada. Sudah terima uang malah melaporkan dengan tuduhan pemalsuan surat.
Masih kuasa hukum Lainnya, Baskara menegaskan harus dibuktikan terlebih dahulu adanya unsur mens rea (niat jahat) dan actus reus (perbuatan jahat) sebelum seseorang dapat dijatuhi pidana.
“Perbuatan itu dilakukan oleh pengacara, semua berkas datang dari notaris yang tanda terimanya hilang. Jadi, di mana mens rea-nya?,” ujarnya.
Terdakwa sama sekali tidak mengetahui apakah surat tersebut palsu atau tidak, karena menurut Baskara kalau pun tahu, ia tidak akan menggunakan surat itu untuk melawan pihak lain.
Kuasa hukum terdakwa juga menyebutkan tanda tangan dalam surat ahli waris tersebut identik dengan dokumen pembanding.
“Kalau tanda tangan identik, lalu di mana letak pemalsuannya?,” ujar Baskara.
Budi/Red

