JAKARTA – Ada seorang pria berkepala plontos, mengenakan jubah berwarna kuning, tampak di Ruang Prof R Subekti atau Ruang 7, di Lantai 2, Pengadilan Negeri Jakarta Utara (PN Jakut), pada Kamis siang (25/4/2024).

Ternyata, pria yang mengenakan jubah kuning itu adalah seorang rohaniawan Buddhis senior, bernama Bikkhu Bodhi Wijaya Ng Jagarapanno atau yang akrab dikenal Banthe Bodhi. Ketika ditanya terkait kehadirannya, dia mengatakan untuk melihat sidang.

banner 600x600

“Datang untuk melihat proses persidangan. Sebab, ada seorang Suhu bernama Vira Vasu yang menjadi Terdakwa. Namun dia tetap mengenakan atributnya sebagai rohaniawan Buddha dalam proses hukum. Itu seharusnya tidak boleh,” tutur Banthe Bodhi.

Selain itu, terlihat Biksu Perempuan atau Biksuni Eva Jauwan alias Suhu Vira Vasu duduk di antara deretan bangku pengunjung, bersama Aky Jauwan yang merupakan ayahnya, sekaligus Terdakwa dalam kasus ini.

Nah, selain kedua Terdakwa, di barisan tempat duduk mereka juga ada tim kuasa hukumnya, dan juga dua orang saksi dari pihak keluarga Jauwan, yakni seorang perempuan setengah baya bernama Tan Liu Lie, bersama putrinya bernama Meta Dewi.

Keduanya adalah sudara ipar dan sepupu dari isteri Aky Jauwan bernama Emi yang sudah meninggal dunia pada 2016 silam. Tan Liu Lie dan Meta Dewi dihadirkan ke muka persidangan sebagai Saksi.

Sedangkan Banthe Bodhi tampak duduk di barisan tempat duduk yang berbeda dengan para Terdakwa. Banthe Bodhi tampak tenang berdiam diri, dan dengan seksama memperhatikan dan mengikuti setiap detail di persidangan tersebut.

Pasalnya, persidangan yang dimulai sekitar pukul 13.00 WIB ini, terkait kasus pidana dengan Nomor Perkara 246/Pid.B/2024, di Pengadilan Negeri Jakarta Utara (PN Jakut), dengan Terdakwa rohaniawan atau biarawati Buddhis bernama Biksuni Eva Jauwan alias Suhu Vira Vasu dan Aky Jauwan yakni Perkara Tindak Pidana Menyuruh Menempatkan Keterangan Palsu Kedalam Akta Autentik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 266 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (Pasal 266 KUHP).

Dalam persidangan yang di ketuai Majelis Hakim bernama Syofia Marlianti T, dengan anggota Majelis Hakim Hotnar Simarmat dan Dian Erdianto. Sedangkan Jaksanya dari Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta, Hadi Karsono, dengan Jaksa Penuntut Umum (JPU) dari Kejaksaan Negeri Jakarta Utara (Kejari Jakut) atas nama Tri Nurandi Sinaga dan Dhiki Kurnia.

Lantas, Ketua Majelis Sidang, Syofia Marlianti T, membuka persidangan, dengan meminta para saksi yang telah hadir untuk maju ke depan. Dalam persidangan tersebut, dua orang saksi terlebih dahulu diperiksa dan didengarkan keterangannya, yakni Tan Liu Lie dan Meta Dewi.

Setelah pengambilan sumpah saksi, satu per satu Hakim menanyai para Saksi. Ketua Majelis Hakim, Syofia Marlianti T menanyakan kepastian apakah mengenal dan tahu para Terdakwa. Serta apakah mengetahui kepastian adanya pernikahan sah antara Alex Muwirto (Almarhum) yakni anak lelaki Aky Jauwan dengan seorang wanita bernama Katarina Bonggo Warsito.

Dipersidangan saksi Tan Liu Lie dan saksi Meta Dewi tampak gagap dan terbata-bata setiap kali hendak merespon pertanyaan-pertanyaan.

Ketua Majelis Hakim, Syofia Marlianti T tampak gregetan dan menyela beberapa jawaban yang berbelit-belit yang disampaikan para Saksi. Hingga membuat pengunjung sidang sesekali riuh tertawa atas ulah para saksi yang dihadirkan.

“Saksi telah disumpah loh. Jawab dengan apa adanya, dan jawab saja pertanyaan-pertanyaan secara jelas dan tegas. Ingat, kesaksian Anda sangat berpengaruh kepada nasib orang lain. Jadi, tolong dijawab dengan sebenar-benarnya. Sebab, kalau ketahuan ada Saksi di persidangan yang bohong, itu sanksinya berat loh. Bisa dipenjara sampai 7 tahun kalau memberikan kesaksian bohong di muka persidangan,” tutur Ketua Majelis Hakim, Syofia Marlianti T.

“Ya, saya tahu mereka menikah (Alex dan Katarina Bonggo Warsito-Red). Kami datang di acara pernikahan mereka. Dan, ya saya kira itu pernikahan resmi dan sah. Soal adanya dugaan pemalsuan dokumen akta nikah, saya kurang tahu, dan tidak melihat-lihat dokumen pernikahan,” jawab Tan Liu Lie.

Hal yang sama juga disampaikan saksi Meta Dewi. Menurutnya, pernikahan Alex dengan Katarina Bonggo Warsito adalah pernikahan yang sah. Sebab, Meta Dewi dan seluruh anggota keluarga hadir dalam proses pernikahan itu.

“Namun, mengenai adanya pernikahan lain yang dilakukan Alex, saya tidak tahu. Sebab, sampai dia meninggal dunia, kayaknya enggak ada istri lain, selain Katarina. Itu yang saya tahu,” ujar Meta Dewi.

Jaksa Penuntut Umum, Hadi Karsono, bergantian menanyakan mengenai akta pernikahan Alex dengan Katarina. “Apakah pernah melihat dan atau mengetahui akta pernikahan ini?” tanya Jaksa Hadi Karsono kepada para Saksi sembari memperlihatkan fotokopian akta pernikahan.

Ketua Majelis Hakim, Syofia Marlianti T menyela. “Coba bawa ke depan sini. Mengapa ini fotokopian? Yang aslinya di mana?” tanya kepada Jaksa.

“Kami cuma dapat fotokopian dari Penyidik, Yang Mulia. Kata Penyidik, yang asli sudah hilang karena dimakan ngengat,” sahut Jaksa Hadi Karsono.

“Enggak boleh begitu, itu kan tugas dan tanggung jawab Penyidik dan JPU. Mesti diupayakan yang aslinya. Kalian yang tahu itu. Sebab, dalam perkara ini, yang menjadi awal persoalan adalah dugaan pemalsuan akta pernikahan itu loh. Bukti ini yang penting. Kok yang dibawa fotokopian? Tolong dilengkapi ya,” sambung Ketua Majelis Hakim, Syofia Marlianti T menegaskan.

Setelah mendengar kesaksian dari Tan Liu Lie dan Meta Dewi, selanjutnya dihadirkan seorang petugas Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kota Jakarta Utara (Dukcapil), bernama Rizky Parlindungan.

Rizky Parlindungan mengakui bahwa ketika dilakukan Berita Acara Penyidikan (BAP) di Kepolisian, dirinya hanya diminta memeriksa dan meneliti keaslian Kartu Tanda Penduduk (KTP) Almarhum Alex.

Rizky Parlindungan yang pada saat kasus ini ditangani Polda Metro Jaya adalah sebagai PNS Dukcapil Jakarta Utara, yakni pada Seleksi Data, Informasi dan Pengawasan.

Dari BAP yang ada di tangan Majelis Hakim, Anggota Majelis Hakim, Hotnar Simarmata, mengungkapkan, tercatat Alex itu menikah pada tahun 2008. Kemudian, Alex dan Katarina Bonggo Warsito bercerai tercatat di akte cerai pada 2010.

Namun, Alex memiliki 2 KTP dengan Nomor Induk Kependudukan (NIK) yang sama, tetapi nama yang berbeda, yaitu KTP yang dikeluarkan pada tahun 2012, dan KTP yang dikeluarkan tahun 2022.

“Ini agak rancu. Apakah dalam pembuatan akta pernikahan dan akta perceraian itu sesuai KTP? Akta nikah keluar tahun 2008, akta cerai keluar tahun 2010, tapi kok KTP-nya baru keluar tahun 2012, dan tahun 2022?” tanya Hakim Hotnar Simarmata.

Saksi Rizky Parlindungan tampak gelagapan dan kesulitan menjawab pertanyaan-pertanyaan Hakim. Dan jawaban-jawabannya tidak sesuai dengan keterangan di BAP.

Ketua Majelis Hakim, Syofia Marlianti T menyela, dan meminta agar Jaksa dan Kuasa Hukum para Terdakwa untuk menghadirkan saksi-saksi yang kompeten saja pada persidangan selanjutnya.

“Saya ada pengalaman di kantor suami saya. Anak buahnya, anggota TNI, setahu kami sudah menikah, sebelum pindah tugas ke Daerah. Eh, belakangan ribut dengan isterinya. Sebab, ternyata Si Anak Buah itu ketahuan menikah lagi di Daerah. Pas dicek, ya karena KTP-nya masih tertulis Belum Kawin. Kalau di Daerah, kan warga tidak mengecek detail, ditunjukkan KTP Belum Kawin ya senang aja anak putrinya dilamar anggota TNI,” tutur Ketua Majelis Hakim, Syofia Marlianti T.

“Nah, yang seperti ini kan juga tugas Dukcapil. Mengapa data di KTP sering tidak sinkron dengan fakta di lapangan? Ini berkaitan dengan nasib orang banyak loh. Jadi, sebaiknya Saksi yang menguasai tugas dan kewajibannya dong dihadirkan,” ujar Ketua Majelis Hakim, Syofia Marlianti T lagi.

Ketua Majelis Hakim, Syofia Marlianti T menskors sidang. Persidangan selanjutnya dijadwalkan pada Selasa, 30 April 2024, pukul 10 pagi, di Ruang Prof R Subekti atau Ruang 7, di Lantai 2, Pengadilan Negeri Jakarta Utara (PN Jakut), dengan agenda masih pemeriksaan saksi.

Kedua Terdakwa, Eva Jauwan (Biksuni atau Vira Vasu) dan Aky Jauwan, dinyatakan masih dalam Tahanan Kota.

“Para Terdakwa tetap masih dalam Tahanan Kota. Jangan pergi-pergi keluar kota. Sebab, masih dalam status Tahanan Kota,” ujar Ketua Majelis Hakim, Syofia Marlianti T.

Usai persidangan, Anggota Majelis Hakim Hotnar Simarmata, ketika di-doorstop wartawan, menyampaikan, keterangan-keterangan dan pembuktian di persidangan akan menjadi landasan Majelis Hakim untuk menentukan keputusan nantinya.

“Semua pihak diberikan kesempatan untuk bersaksi dan menyampaikan bukti-bukti dan fakta-fakta. Mau keterangannya jujur atau tidak, bukan itu penentunya. Majelis Hakim yang memutuskan nantinya. Tentu, kami sebagai Majelis Hakim akan terus membongkar hal-hal yang sebenarnya, dan itu akan jadi pertimbangan kami nantinya dalam menentukan putusan,” tutur Hakim Hotnar Simarmata.

Banthe Bodhi Desak Pecat Biksuni Eva

Terpisah, Rohaniawan Buddhis senior, Bikkhu Bodhi Wijaya Ng Jagarapanno atau yang akrab dikenal Banthe Bodhi, menyampaikan, keberadaan Terdakwa Eva Jauwan yang merupakan Biksuni yang kini bergelar Suhu Vira Vasu di Vihara Dharma Suci Pantai Indah Kapuk harus segera dilepaskan.

“Pemerintah harus mengambil sikap tegas, karena Pemerintah yang menaungi kita, yaitu melalui Kementerian Agama. Agar Pemerintah melalui Kementerian Agama melakukan langkah tegas dengan memberikan sanksi kepada Suhu Vira Vasu,” tutur Banthe Bodhi.

“Kalau secara halus tidak bisa, maka secara tegas kita harus melakukan tindakan paksa, dan melaporkan dia (Biksuni Eva alias Suhu Vira Vasu) ke tempat dia bernaung,” lanjut Banthe Bodhi.

Menurut Banthe Bodhi yang merupakan anggota Sangha Dhammaduta Indonesia ini, baru ini pertama kali terjadi, seorang rohaniawan Buddha yakni Biksuni Eva Jauwan alias Suhu Vira Vasu tetap ngotot bertahan mengenakan status sebagai rohaniawan Buddha meskipun sudah ditetapkan sebagai Tersangka dalam kasus pidana, dan kini didakwa di Pengadilan Negeri Jakarta Utara.

“Belum pernah terjadi hal seperti ini. Biasanya selalu diselesaikan secara internal, dengan mencopot status rohaniawannya, dan dia menghadapi proses hukum tanpa embel-embel rohaniawan Buddha. Maka perlu pandangan yang benar, apakah masih pantas dia mengenakan status sebagai rohaniawan Buddha?” lanjut Banthe Bodhi.

Banthe Bodhi yang merupakan Banthe Penasehat Perwakilan Umat Buddha Indonesia (Walubi) DKI Jakarta ini menegaskan, seorang rohaniawan Buddha harusnya tahu, paham dan melaksanakan etika yang berlaku di Agama Budhha.

“Itu adalah hal etika, menyangkut etika bahwa seorang rohaniawan tidak boleh ada hubungannya dengan persoalan hukum, apalagi ini sudah jadi terdakwa kasus hukum pidana. Bahwa dia melanggar peraturan atau melanggar hukum. Di mana pun dia berada tidak boleh membawa-bawa statusnya sebagai rohaniawan Buddha dalam kasus hukumnya,” lanjutnya menjelaskan.

“Maka, status dia sebagai rohaniawan Buddha harus diselesaikan. Seharusnya sudah diselesaikan dulu. Apakah Biksuni Eva atau Suhu Vira Vasu ini punya itikad baik? Simpel kok permasalahan ini, lepas status rohaniawannya, dan silakan dia jalani proses hukumnya sebagai orang awam,” jelas Banthe Bodhi.

Status sebagai seorang rohaniawan Buddha, lanjut Banthe Bodhi, apabila sudah berhubungan dengan hukum atau sudah terkena kasus hukum di kepolisian, maka tidak ada lagi yang boleh dilakukan selain rohaniawan buddha itu atau biksuni itu harus dicopot dari statusnya sebagai rohaniawan Buddha.

“Saya sarankan Suhu Vira Vasu segera mengundurkan diri dari statusnya sebagai rohaniawan Buddha. Karena sikap Biksuni Eva alias Suhu Vira Vasu itu telah mencemarkan nama baik umat Buddha di seluruh Indonesia, bahkan dunia. Kami minta segera dilaksanakan, melepaskan statusnya sebagai rohaniawan Buddha,” tegasnya.

“Apalagi saya mengikuti proses proses hukum dan pernah menjadi mediator untuk memediasi kedua belah pihak untuk menyelesaikan kasus ini. Namun tidak ada hal-hal baik yang dilakukan Biksuni Eva alias Suhu Vira Vasu dalam menyelesaikan kasus ini,” ungkap Banthe Bodhi.

“Saya sarankan Biksuni Eva atau Suhu Vira segera mengundurkan diri sebagai rohaniawan, atau institusi di bawah dia bernaung harus mengeluarkan sebuah ultimatum. Jadi, saya harap, kepada yang bersangkutan untuk segera mengundurkan diri, siapapun itu,” tutur Banthe Bodhi.

Terkait kasus ini, pihak Dirjen Bimas Buddha Kementerian Agama Republik Indonesia, yang menghadiri mediasi di Vihara Hemadhiro Mettavati Temple, di Jalan Mawar SCB, No 11, RT 11/RW 1, Kapuk, Kecamatan Cengkareng, Jakarta Barat, pada 24 Februari 2024 jam 15.00 WIB, yaitu Pak Andi Dela dan Pak Suratman, tidak memberi respon ketika diminta konfirmasinya.

Sejumlah Petinggi dan Pengurus Vihara Dharma Suci Pantai Indah Kapuk (PIK), Jakarta, juga diduga bersengaja melindungi pelaku tindak pidana pemalsuan yang sedang disidangkan di Pengadilan Negeri Jakarta Utara (PN Jakut).

Biksu atau Bhikkhu perempuan alias Bhikkhuni atau Biksuni bernama Eva Jauwan atau Eva, yang merupakan salah seorang Terdakwa dalam kasus pidana dengan Nomor Perkara 246/Pid.B/2024, di Pengadilan Negeri Jakarta Utara (PN Jakut), diduga berlindung di balik jubah Biksuni yang berada di Wihara atau Vihara Dharma Suci Pantai Indah Kapuk (PIK), Jakarta Utara.

Bukan hanya berlindung, Biksuni Eva Jauwan yang bergelar Shifu atau Sefu alias Suhu Vira di Vihara Dharma Suci PIK itu juga diduga dilindungi oleh para petinggi dan pengurus Vihara Dharma Suci PIK yang didirikan Biksuni Zong Kai asal Medan, Sumatera Utara itu.

Biksuni Eva, ditahbiskan sebagai Biksuni pada tahun 2016 di Vihara Dharma Suci Pantai Indah Kapuk (PIK). Namun pada faktanya, Eva masih aktif mengurusi dan mengintervensi persoalan ini hingga kini. Hal itu juga dapat dibuktikan dengan dokumen tertanggal 07 Maret 2018, yang dibawa ke persidangan Pengadilan Negeri Jakarta Utara.

Setelah 5 Tahun Baru P21 dan Sidang

Kasus ini mencuat, ketika Katarina Bonggo Warsito alias Katarina BW, yang merupakan mantan menantu keluarga Jauwan, dan mantan kakak ipar dari Biksuni Eva Jauwan alias Suhu Vira melaporkan persoalan ini ke Polisi.

Sudah memasuki tahun ke-5 sejak peristiwa dugaan penipuan dan pemalsuan yang dialami Katarina Bonggo Warsito dilaporkan kepada aparat Kepolisian, namun tak kunjung mendapat keadilan dan kepastian hukum.

Katarina Bonggo Warsito menyebut, ada oknum Biksu Perempuan atau Biksuni dan keluarga besarnya yang diduga kuat bermain praktik mafia hukum yang melibatkan oknum di Kepolisian dan Kejaksaan.

Sehingga menyebabkan kasus Tindak Pidana Menyuruh Menempatkan Keterangan Palsu kedalam Akta Autentik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 266 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (Pasal 266 KUHP) yang terjadi Tahun 2017 di Jakarta Utara, mengalami jalan panjang dan berbelit-belit.

Dari penelusuran wartawan, Biksuni berinisial E (Eva-red), menjadi rohaniawan di salah satu Vihara di Pantai Indah Kapuk (PIK) Jakarta, yaitu Vihara Dharma Suci Pantai Indah Kapuk.

Namun, dalam data Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Buddha Kementerian Agama Republik Indonesia, E yang memiliki Kartu Rohaniawan dengan Nomor Registrasi : 119719781230202005 (tahun 2021) terdapat keanehan. Karena tidak ada foto diri rohaniawan di kartunya dan Dirjen yang menandatangani adalah Dirjen yang menjabat pada Tahun 2022. Waktu dikonfirmasi, disebutkan bahwa program sedang eror.

“Para Tersangka, termasuk Biksuni E tidak pernah dilakukan penahanan. Tapi di Surat Dakwaan kok para Terdakwa disebut dilakukan penahanan,” tutur Katarina Bonggo Warsito.

Bahkan Terdakwa Aky Jauwan (yang merupakan mantan mertua Katarina Bonggo Warsito), tampak sehat ketika hadir ke persidangan, dan tidak pernah ditahan.

Demikian pula, Biksuni Eva Jauwan alias Suhu Vira, hadir ke persidangan dengan memakai jubah biksuni, tidak pernah ditahan.

Sedangkan Tersangka Ernie Jauwan, sampai saat ini diinformasikan masih berada di Australia. “Namun tidak pernah dikeluarkan Red Notice atau memasukkan ke dalam Daftar Pencarian Orang (DPO) oleh pihak aparat,” ujar Katarina Bonggo Warsito.

Perkara tindak pidana dengan Nomor Perkara 246/Pid.B/2024/PN Jkt.Utr ini, sedang bergulir di Pengadilan Negeri Jakarta Utara (PN Jakut).

Persidangan dipimpin oleh Ketua Majelis Hakim bernama Syofia Marlianti T, dengan anggota Majelis Hakim Hotnar Simarmata (Anggota Majelis Hakim), dan Dian Erdianto (Anggota Majelis Hakim).

Perkara ini ditangani oleh Jaksa Peneliti dari Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta, Hadi Karsono, dengan Jaksa Penuntut Umum (JPU) dari Kejaksaan Negeri Jakarta Utara (Kejari Jakut) atas nama Tri Nurandi Sinaga dan Dhiki Kurnia.

Penyidik di Polda Metro Jaya yang menangani laporan ini sejak awal adalah Aiptu Rudi Mustopa, dari Jatanras Polda Metro Jaya, yang menjadi Penyidik Pembantu Dirreskrimum Polda Metro Jaya, dan Kompol M Eko P Barmula SH. SIK. MH., yang sebelumnya merupakan Penyidik Dirreskrimum Polda Metro Jaya yang kini BKO (Bantuan Kendali Operasi) alias ditugaskan ke Kementerian Informasi (Kominfo).

Terkait pekerjaannya menangani laporan Katarina Bonggo Warsito di Polda Metro Jaya ini, Kompol M Eko P Barmula SH. SIK. MH., menyampaikan agar sebaiknya dikonfirmasi langsung ke Penyidik di Jatanras Polda Metro Jaya saja.

“Langsung ke Penyidik saja, Mas. Di Jatanras Polda Metro Jaya,” jawabnya singkat ketika dikonfirmasi wartawan.

Sedangkan, Aiptu Rudi Mustopa, dari Jatanras Polda Metro Jaya, yang menjadi Penyidik Pembantu Dirreskrimum Polda Metro Jaya dalam kasus ini, mengelak untuk memberikan pernyataan.

“Saya hanya Penyidik, Mas. Jikalau ada yang perlu untuk wawancara atau konfirmasi lewat Kabid Humas Polda Metro Jaya,” ujar Aiptu Rudi Mustopa menanggapi komunikasi wartawan yang meminta konfirmasi.

Sementara, Kabid Humas Polda Metro Jaya, Kombes Pol Ade Ary Syam Indradi yang dikonfirmasi wartawan lewat nomor selulernya, tidak memberikan respon.

Korban Diduga Dikriminalisasi Oleh Keluarga Mantan Mertua

Katarina Bonggo Warsito menjelaskan, awalnya, dirinya menikah dengan seorang pria bernama AM (Alexander Muwirto-Red) pada tahun 2008 silam. Mereka menikah secara agama Budha.

AM memiliki orang tua bernama AJ (Aky Jauwan -Red) dan berdomisili Jakarta Utara. Selain AM, AJ masih memiliki dua anak perempuan lagi, yakni EJ (Ernie Jauwan-Red) yang tinggal di Australia, dan E (Eva-Red) yang merupakan Biksuni di Vihara di daerah PIK.

Nasib kurang beruntung dialami Katarina Bonggo Warsito dan suaminya AM. Keluarga baru itu tidak dikaruniai keturunan, malah AM terus-terusan terlibat pada dugaan penggunaan judi dan narkoba.

“Akhirnya, kami bercerai pada sekitar dua tahun berikutnya, tanpa membicarakan gono gini,” ujarnya.

Setelah perceraian, korban pergi ke luar negeri untuk menenangkan diri selama 1 tahun lebih. Dan kembali ke Jakarta, setelah AM kembali berulah dengan membawa kabur cek kontan.

Dalam perjalanan tersebut tahun 2016, Ibu mertua yakni Ibunya AM meninggal dunia. Delapan bulan kemudian AM pun ikut meninggal dunia yang katanya jatuh di kamar mandi.

Setelah meninggal, mulailah permainan dari keluarga Almarhum AM untuk mengambil alih semua harta dengan cara memalsukan KTP dan membuat akta keterangan hak mewaris, serta akta pernyataan waris yang menyebutkan AM tidak pernah terikat perkawinan yang sah seumur hidupnya.

Dikarenakan selalu dipersulit dan bahkan dituduh melakukan pernikahan yang tidak sah, maupun berbagai dugaan pemalsuan yang sengaja dilakukan untuk menjegal Katarina Bonggo Warsito, akhirnya Katarina pun membawa persoalan ini ke proses hukum dengan membuat laporan ke Polda Metro Jaya pada 28 Mei 2021.

Nah, sejak saat itu, menurut Katarina, pihak keluarga mertuanya, yakni AJ, EJ yang tinggal di Australia, dan E yang merupakan Biksuni di Vihara PIK, terus-terusan melakukan upaya dugaan mafia hukum, agar kasus yang dilaporkan korban itu tidak diproses, dan tidak disidangkan sebagaimana mestinya.

Perkara ini masih bergulir di persidangan pada Pengadilan Negeri Jakarta Utara (PN Jakut). Sidang berikutnya dengan agenda Pemeriksaan Saksi akan dilanjutkan pada Selasa, 30 April 2024 mendatang. (Amris)